Tuesday, September 21, 2010

Haruskah Kita Menunggu the Big One?

Sebelumnya banyak orang menyangka bahwa gempa besar hanya melanda daerah2 berpenduduk jarang. Begitu pula, banyak orang yang menyangka bahwa daerah 'sepi' gempa besar, seperti Jakarta misalnya, tidak akan pernah mengalami gempa besar. Alam rupanya mencoba mengoreksi sangkaan yang salah itu dengan terjadinya empat gempa besar yg memporak-porandakan teknologi manusia di empat penjuru dunia. Tidak tanggung2, negara2 yang dilanda adalah negara2 dengan teknologi gempa yang canggih: Amerika (Gempa Northridge,1994), Asia (Gempa Kobe, 1995 dan Taiwan, 1999) dan Eropa (Gempa Izmit, 1999). Buat kita, duka mereka bisa kita jadikan hikmah. Luluh-lantaknya infrastruktur yang dibangun dengan Peraturan Gempa yang canggih itu merupakan full-scale field test atas memadai tidaknya peraturan yang berlaku. Sekarang tergantung kita, haruskah kita menunggu datangnya the Big One untuk meninjau kembali peraturan gempa kita dan secara ketat mengaplikasikannya di lapangan?

Kalau dikatakan bahwa Jakarta termasuk daerah rawan gempa, semua orang sudah tahu. Tapi kalau Jakarta sangat mungkin mengalami peristiwa kerusakan yg terjadi di Taiwan, atau Kobe, Jepang atau Izmit, Turkey, maka banyak orang yang mungkin tidak tahu.

Setelah dua kali dalam waktu enam bulan digoncang gempa dengan kekuatan sekitar 6 pada jarak sekitar 200 km, sewajarnya penduduk Jakarta khawatir jika gempa yg lebih besar bisa datang menimpa. Sejarah juga mencatat, bahwa pada tahun 1833, Jakarta digoncang gempa besar dengan intensitas Modified Mercalli VII-VIII. Intensitas ini menunjukkan bahwa gempa ini mengakibatkan goncangan yang berarti di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Di ujung abad ini, ada 4 gempa besar terjadi yang merenggut tidak kurang dari 50 000 jiwa dan mengakibatkan kerugian materil tidak kurang dari 200 milyar US dollar di California, Jepang, Taiwan dan Turki (Tabel 1). Ke-empat gempa besar ini kebetulan terjadi pada daerah yang padat penduduk dengan infraststruktur yang lengkap. Secara kebetulan juga, ke-empat sumber gempa ini berupa patahan lempeng tektonik yang dekat dengan permukaan.

Tabel 1. Empat gempa besar akibat merusak di ujung abad 20

Gempa

Terjadi

Kerugian

(milyar US$)

Mw*

Kedalaman pusat gempa

(km)

Durasi (detik)

Sesar penyebab

PGA maksimum tercatat (g)

Northridge, California

17 Jan. 1994 jam 4:31 pagi

15

6.7

18

15

Thrust-fault

1.8

Kobe, Jepang

17 Jan. 1995 jam 5:46 pagi

150

6.9

10

17

Thrust-fault

0.8

Izmit, Turkey

17 Ag. 1999, jam 3:02 pagi

40

7.4

17

45

Strike-slip fault

0.4

Taiwan

21 Sept. 1999 jam 1:47 pagi

30

7.6

15

32

Thrust-fault

1.0

Mw = moment magnitude yg merupakan besaran untuk mengukur energi gempa, dihitung berdasarkan panjang dan lebar patahan yang terjadi. Pada range 6 dan 7, besaran Mw kira2 5% lebih besar dari skala Richter.

g = satuan gravitasi (9.81 m2/detik)

Gempa Northridge, California

Jam 4:31 pagi, Senin, 17 Januari 1994, gempa berkekuatan Mw6.7 (Mw=moment magnitude) menggoncang Lembah San Fernando, Los Angeles bagian utara, California. Lima puluh tujuh orang meninggal dan lebih dari 1500 orang luka-luka. Dalam waktu kurang dari semenit sekitar 12 500 gedung rusak ringan sampai berat dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Beberapa segmen jalan bebas hambatan rusak berat sehingga memaksa ditutupnya 11 jalan utama menuju Los Angeles.

Lembah San Fernando memang terletak di daerah yang aktif gempa. Gempa ini merupakan gempa yang ketiga setelah gempa San Fernando di th 1971 dan Loma Prieta di th 1989. Daerah ini dibatasi oleh Verdugo Mountains di timur laut dan San Gabriel Mountains di barat, oleh Simi Hills dan Santa Susana Mountains di barat laut, serta di selatan oleh Santa Monica Mountains. Daerah ini aktif bergerak membentuk lipatan dan thrust-fault akibat desakan pada arah utara-selatan yg terjadi pada belokan sesar strike-slip San Andreas yang terkenal itu (Gambar 1).

Berdasarkan laporan dari California Institute of Technology dan US Geological Survey, sumber gempa berasal dari patahan pada kedalaman 18 km dari permukaan. Uniknya, patahan ini tadinya tidak ada atau tidak diketahui oleh para seismolgist. Rupanya patahan ini terjadi sebagai akibat pergerakan sesar San Andreas yg sekian lama mendesak lempeng ini sampai akhirnya mencapai batas keruntuhannya. Patahan ini lazim disebut blind thrust.

Gambar 1. Sesar2 besar yang aktif di sekitar Los Angeles, California.

Gempa Kobe, 1995

Tepat setahun kemudian, tanggal 17 Jan 1995, gempa dengan skala Mw6.9 menghentak Jepang. Gempa yg terjadi pada jam 5:46 pagi ini menggoyang daerah padat penduduk Kobe dan meluluh-lantakkan sekitar 20 persen sendi-sendi perekonomian Jepang dalam bilangan menit. Walaupun sebenarnya Kobe terletak cukup jauh dari pertemuan empat lempeng tektonik utama dunia: lempeng Amerika Utara, lempeng Pasifik, Filipina dan Eurasia, tak urung gempa besar terjadi juga disini (Gambar 2).

Gambar 2. Patahan penyebab Gempa Kobe (dari EQE international)

Daerah ini terletak pada Arima Takatsuki Tectonic Line yang juga merupakan sesar strike-slip, mirip dengan sesar San Andreas. Hanya saja, sesar ini tampaknya merupakan 'hasil sampingan' tumbukan antara lempeng Filipina dengan Eurasia, yang juga ditumbuk oleh lempeng Pasifik dari arah Timur laut sehingga terjadilah sesar ini.

Secara historis, daerah Kobe ini termasuk daerah yang agak 'sepi' dari gempa2 besar. Hanya ada dua kali gempa besar menimpa daerah ini dalam waktu 400 tahun. Pada tahun 1916, daerah ini dihentak gempa berkekuatan Mw6.1. Dan hampir 400 tahun yang lalu, th 1596, daerah ini juga digoncang gempa berkekuatan Mw7.0. Jadi, banyak orang menyangka, bahwa daerah ini adalah daerah yang relatif aman terhadap gempa besar.

Gempa Izmit (Kocaeli), Turki

Jam 3:01 dini hari, saat enak-enaknya tidur, goncangan gempa berkekuatan Mw7.4 melanda daerah Izmit, Turki pada tanggal 17 Agustus 1999. Pada hari itu, sementara bangsa Indonesia sedang mensyukuri karunia kemerdekaannya selama 54 tahun, bangsa Turki berduka cita karena puluhan ribu warganya meninggal karena gempa ini.

Episenter gempa terletak 11 km sebelah tenggara Izmit, atau 80 km dari Istanbul, ibu kota Turki (Gambar 3). Gempa ini berpusat pada kedalaman 17km dan terjadi sepanjang sistim sesar Anatolia Utara paling ujung. Sesar ini telah menggoncang Turki dengan 7 gempa bermagnituda lebih besar dari 7 dalam kurun waktu 50 tahun!

Sesar ini merupakan sesar strike-slip, dan pada saat terjadi gempa ini, sesar sepanjang 60 km mengalami slip sebanyak 2.5m secara horisontal dan 2m secara vertikal.

Dalam hal percepatan gempa yang tercatat di permukaan tanah, gempa ini tidaklah begitu istimewa. Peak ground acceleration (PGA) yang tercatat paling tinggi hanyalah 0.4g, jauh lebih kecil dari PGA yg tercatat pada gempa Northridge atau Kobe. Yang istimewa pada gempa ini adalah durasi gempa ini yang cukup panjang yaitu 45 detik.


Gambar 3. Pusat gempa Izmit (Kocaeli) di Turki (dari Olsen, ERDC,WES).

Gempa Chi-chi, Taiwan

Gempa besar rupanya suka datang pagi2. Seperti juga 3 gempa besar sebelumnya, gempa Chi-chi berkekuatan Mw7.6 menghentak Taiwan bagian tengah selama 30 detik, pada jam 1:47 dini hari, tanggal 21 September 1999. Lebih dari dua ribu orang meninggal karena gempa ini dengan kerugian materil lebih dari 30 milyar US dollar.

Gempa ini diakibatkan oleh runtuhnya sesar Chelungpu yang merupakan thrust fault yang menghunjam dengan sudut 30 derajat ke arah timur (Gambar 4). Sesar ini merupakan bagian barat dari zona thrust-fault yg terjadi karena energi kompresi pada lempeng Eurasia akibat tumbukan lempeng Filipina dan Eurasia. Keruntuhan sesar ini terjadi sepanjang 80 km dengan bidang geser sedalam 40 km. Episenter terletak 15 km dari ujung selatan sesar. Keruntuhan ini menghasilkan fault scarps setinggi 2 sampai 3 meter sepanjang ujung selatan sesar dan bahkan setinggi 4 sampai 8 m di ujung utara sesar yg runtuh ini. Percepatan gempa yg tercatat di permukaan tanah bervariasi besarnya tergantung dari lokasi instrument pencatat. Percepatan maksimum yg tercatat mencapai 1.0g.

Biasanya, gempa2 besar di Taiwan terjadi jauh di laut sebagai akibat tumbukan pelat Filipina yang menghunjam pelat Eurasia. Oleh karena itu, gempa ini termasuk gempa 'kagetan' juga. Sesar Chelungpu ini memang diketahui sebagai sesar aktif, tapi belum ada data geologi yg bisa mengukur seberapa aktif sesar ini, dan selama ini sesar ini tampak tidak mampu menimbulkan gempa besar. Oleh karena itu, daerah ini dimasukkan kedalam zona gempa rendah sampai menengah saja.

Gambar 4. Pusat gempa Chi-chi di Taiwan (dari Olsen,ERDC-WES)

Kerusakan yg ditimbulkan

Pada prinsipnya kerusakan yang diitimbulkan dapat dibagi dua: kerusakan langsung akibat pergerakan sesar dan akibat sekunder seperti kuatnya goncangan, likuifaksi, kebakaran, dan lain-lain.

Likuifaksi adalah keadaan dimana tanah kepasiran lepas mengalami kehilangan kekuatan dan kekakuannya secara sementara akibat gempa atau beban lain. Likuifaksi mengakibatkan keruntuhan daya dukung, pergerakan tanah lateral, beda penurunan pada bangunan, dan juga longsornya dam.

Likuifaksi terjadi pada tanah pasir lepas yg jenuh air. Oleh karena itu, likuifaksi biasanya terjadi di pantai, dan daerah2 lain yang merupakan bekas aliran sungai atau danau dengan permukaan air tanah yang tinggi.

Salah satu sebab utama gempa2 ini sangat merugikan adalah karena gempa2 ini terjadi pada daerah yg berpopulasi padat, dengan infrastruktur yg sudah jadi. Kalau kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa Northridge dapat dikatakan paling kecil dibandingkan kerusakan yg ditimbulkan oleh tiga gempa lainnya (lihat Tabel 1)), maka kemugkinan itu adalah hasil dari penerapan Peraturan Bangunan Tahan Gempa yg memadai secara ketat, tipe bangunan dan kondisi geologi lokal yang berbeda dengan daerah Kobe, misalnya.

Dari ke-empat gempa ini, hanya satu yg langsung diakibatkan oleh sesar strike-slip, yaitu Gempa Izmit. Tiga lainnya diakibatkan oleh thrust-fault sebagai akibat sampingan baik dari pergerakan patahan strike-strip (Northridge) ataupun akibat pergerakan lempeng pada daerah hunjaman (subduction) seperti di Taiwan dan Kobe. Semuanya meninggalkan fault scarps (bekas patahan) di permukaan.

Dari ke-empat gempa ini hanya satu gempa yg memang sudah diduga bakal terjadi, yaitu gempa Izmit. Dengan menghitung besarnya tegangan dan regangan, yg berarti juga enerji, sepanjang segmen sesar Anatolia utara, sejak tahun 1997 US Geological Survey sudah mengantisipasi akan terjadinya gempa di daerah sekitar Izmit. Di sepanjang sesar ini, hanya bagian inilah yang belum mengalami keruntuhan sejak tahun 1939. Sedangkan 6 segmen2 lainnya telah runtuh dan menghasilkan gempa dengan magnituda sekitar 7, pada tahun 1939, 1942, 1943, 1957 dan 1967.

Gempa2 lainnya dapat dikatakan tidak diduga bakal terjadi di daerah itu. Secara historis, daerah Kobe, di Jepang, Chi-chi di Taiwan termasuk daerah yang ‘miskin’ gempa besar. Kecuali Northridge, yang memang dikelilingi oleh beberapa sesar aktif. Sekalipun demikian, tidak ada seorangpun yang menyangka bahwa di bawah kota Northridge tersembunyi potensi sesar yg bisa menghasilkan gempa besar.

Ke-empat gempa ini melanda negara dengan teknologi tahan gempa yang canggih, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan dan Turki. Gedung2 modern yg terbuat dari struktur baja, pada umumnya dapat bertahan dan tidak runtuh. Tapi, gedung2 rangka beton, sekalipun dibangun dengan teknologi modern, kebanyakan hancur lebur. Hal ini tidak saja terjadi di Turki dan Taiwan, tapi juga di Northridge, California, tempat embahnya para ahli gempa dunia, dan juga Kobe, Jepang, yg mempunyai peraturan gempa yg lebih ketat dari Amerika. Disamping faktor tingkat goncangan yang sangat tinggi, faktor goncangan susulan, durasi gempa, dan faktor efek lokal site juga merupakan penyebab semakin luasnya daerah bencana.

Sebagai ilustrasi mengenai kuatnya goncangan gempa2 ini, pada Gambar 5 terlihat jalan layang di Kobe yang runtuh dan Gambar 6 memperlihatkan gedung rangka beton yang luluh lantak di Izmit.

Gambar 5. Pilar2 jalan layang yang patah akibat gempa Kobe (dari EQE international).

Gambar 6. Gedung rangka beton yang luluh lantak akibat gempa Izmit di Turki.

Pada ke-empat bencana gempa ini, bencana likuifaksi terjadi di mana-mana. Terutama daerah pantai yang biasanya terdiri dari endapan tanah kepasiran yang lepas serta juga mempunyai muka air tanah yang tinggi. Di Kobe dan Izmit, selain faktor percepatan yang tinggi yang banyak merusak bangunan gedung rangka beton, likuifaksi merupakan salah satu faktor utama yg menyebabkan banyaknya amblasan gedung akibat hilangnya daya dukung (Gambar 7), serta terjadinya pergerakan lateral, yang menyebabkan rumah dan gudang berpindah ke laut (Gambar 8), atau juga jatuhnya bentang jembatan (Gambar 9).

Gambar 7. Amblasnya bangunan karena hilangnya daya dukung akibat likuifaksi. Gempa Izmit, Turki (dari Olsen, ERDC-WES).

Gambar 8. Akibat likuifaksi di pantai Kobe setelah dilanda gempa(dari University of California, Berkeley)

Gambar 9. Jatuhnya bentang jembatan karena adanya pergerakan lateral tanah akibat likuifaksi(dari University of California, Berkeley).

Pelajaran yang bisa diambil

Jakarta merupakan salah satu kota atau merupakan satu2nya kota di Indonesia yg telah menghabiskan ratusan trilyun rupiah untuk mengembangkan infrastrukturnya. Jakarta juga merupakan pusat bisnis Indonesia, yang mengatur dan mengelola perbisnisan yang ada hampir di seluruh Indonesia. Kalau Jakarta hancur akibat gempa, maka akibatnya bisa sangat fatal bagi nafas kehidupan negara Indonesia. Kasarnya, kalau Jakarta hancur, maka bekas-bekas pembangunan Indonesia selama 30 tahunpun hancur.

Jelas, tak ada seorangpun ingin Jakarta hancur karena gempa. Tapi, masalahnya adalah, gempa sebagaimana juga masalah2 bangsa kita saat ini, tidak bisa dihindarkan dengan hanya berdoa, atau bahkan dengan upacara ruwatan saja. Gempa hanya bisa dikurangi akibatnya dengan cara memperbaiki sistim Peraturan Bangunan Tahan Gempa kita, pengontrolan yang ketat, memasyarakatkan potensi bahaya gempa, dan secara finasial, mengasuransikan bangunan.

Tapi pertanyaannya sekarang, mungkinkah Jakarta akan terkena gempa besar seperti yang pernah terjadi di Northridge, Kobe, Izmit atau Taiwan? Jawabannya adalah sangat mungkin. Mengapa?

Alasan pertama, karena tiga dari empat gempa di atas, terjadi pada daerah yg tadinya tidak disangka sama sekali akan mengalami gempa besar. Khususnya untuk gempa Kobe (Jepang) dan Chi-chi (Taiwan), yg terjadi akibat adanya keruntuhan thrust-fault yang dihasilkan oleh adanya tumbukan lempeng tektonik pada zona subduksi di daerah masing2, mempunyai geometri yang mirip dengan zona subduksi di pantai selatan Jawa, khususnya Jawa Barat. Sesar2 permukaan yang terjadi di Sukabumi, Bogor, Baribis, dan daerah2 lain di Jawa Barat, merupakan akibat langsung dari desakan lempeng Indo-Australia yg menghunjam lempeng Eurasia. Pergerakan lempeng ini mirip dengan pergerakan lempeng Filipina yg menghunjam lempeng Eurasia di Taiwan, ataupun lempeng Pasifik yang menghunjam lempeng Eurasia di Kobe.

Alasan kedua, secara historis Jakarta pernah dilanda gempa yg besar pada tahun 1833. Intensitas gempa yang tercatat saat itu mencapai skala VII dan VIII pada sistim Modified Mercalli. Intensitas setinggi ini menunjukkan bahwa Jakarta mengalami percepatan gempa yang besarnya berkisar antara 0.13g sampai 0.27g. Skala VIII MM dikatagorikan sebagai: ‘kerusakan tampak pada bangunan dg disain yang baik, cukup banyak dan menyebabkan keruntuhan parsial pada bangunan biasa, kerusakan parah terjadi pada bangunan dg disain buruk, dinding penyekat terlempar dari rangkanya, menara asap,kolom dan monumen runtuh, perabotan berat terbalik, pasir dan lumpur menyembur (terjadi likuifaksi -penulis), terjadi perubahan pada air sumur, orang yang sedang menyetir mobil terganggu. Karena hal ini, dapat dipastikan, Jakarta akan mengalami lagi gempa dengan magnituda yg serupa nanti. Karena kejadian gempa tersebut sudah hampir 170 tahun yang lalu, bisa jadi gempa besar ini akan datang dalam beberapa tahun mendatang.

Dari keterangan diatas, Jakartapun pernah mengalami likuifaksi akibat gempa besar. Kemungkinan kasus likuifaksi ini terjadi di Jakarta utara, yang saat itu masih ditemukan banyak rawa-rawa. Kalaupun daerah itu pernah mengalami likuifaksi, tidak berarti daerah itu tidak akan mengalami likuifaksi lagi. Proses likuifaksi bisa datang lagi berkali-kali selama lapisan tanah tersebut masih berkonsistensi lepas dan intensitas gempa yang datang cukup besar untuk mencapai ambang batas likuifaksi lapisan tanah tersebut.

Sebelum krisis terjadi, pemerintah dengan bantuan swasta mengembangkan kawasan Pantai Utara Jakarta untuk perumahan dan perhotelan dengan cara mereklamasi pantai. Metoda yang dipakai adalah metoda hydraulic fill ditambah dengan pemasangan vertical drain untuk mempercepat proses konsolidasinya. Metoda ini memang cukup berhasil untuk mempercepat pencapaian kekuatan tanah sehingga bisa dicapai keseimbangan statik disain, baik saat konstruksi dengan membatasi ketebalan lapisan timbunan, ataupun juga jangka panjang setelah konstruksi. Tapi, dari segi ketahanan tanah terhadap beban gempa, metoda ini sangat riskan. Tanpa menambah kekakuan tanah, misalnya dengan cara stone-column, jet-grouting, soil-mixing, dan metoda2 perbaikan tanah yang semacam itu, maka ketahanan tanah endapan dengan metoda hydraulic fill terhadap beban dinamik tetap rendah, dan berpotensi besar untuk mengalami likuifaksi, walaupun dengan percepatan hanya sekitar 0.13g saja. Bukti2 ini sudah terlihat di lapangan pada peristiwa gempa Kobe, misalnya. Dengan kata lain, jika gempa besar yang pernah datang pada tahun 1833 itu datang lagi, dan karena gempa2 besar ini biasanya datang dini-hari, maka para pemilik bangunan di pantai utara Jakarta, siap-siap saja bangun pagi dengan kaki basah karena pondasi rumahnya sudah amblas, atau bahkan ada yg pindah ke tengah laut, atau apartemennya miring sehingga bisa turun kebawah dengan jalan kaki dari jendela..

Enggak percaya? Boleh saja..,tapi mungkin saja ketidakpercayaan terhadap informasi ini bisa mahal harganya.

Sumbang pikiran untuk bangsaku tercinta,

Melbourne, 13 Sept 2000 (ditulis sebelum Gempa Sumatra 2004)

Hendra Jitno, Ph.D., CPEng, FIEAust, NPER.

Sunday, September 19, 2010

Ambruknya Ruas Jalan RE Martadinata-Jakarta Utara















Ruas jalan sepanjang 103m di Jl RE Martadinata, di samping Waduk Pompa Air Tanjung Priuk ambruk pada tanggal 16 September 2010 dini hari antara jam 3 dan 4 pagi. Foto 1 memperlihatkan lokasi ambruknya jalan (kira2 saja– I’ve never been to the actual site).

Pengamatan dari foto-foto lapangan (lewat internet):

  1. Dari informasi yg ada tampaknya ruas jalan tsb tidak dibangun diatas tiang pancang(lihat Foto 2);
  2. Ruas jalan longsor dalam waktu yg relative cepat (rapid failure), mengindikasikan bahwa kuat geser tanah berperilaku strain softening (semakin lemah dengan bertambahnya deformasi), yg biasa terjadi pada soft clay atau sensitive clays.
  3. Longsoran terjadi sekitar jam 3 dan 4 pagi, dimana pada saat itu muka air laut pada elevasi terendah. Lihat http://www.myforecast.com/bin/tide.m?city=63793&metric=false&tideLocationID=T2348.
  4. Muka sungai tampak tenang dan tidak terpengaruh ombak laut pantai yg menggerus. Lihat foto, berari erusan akibat ombak kemungkinannya kecil.
  5. Lokasi terletak di pinggir laut yg kemungkinan besar airnya bersifat payau atau mungkin asin. Berarti airnya sudah asin sejak dulu.

Beberapa teori tentang penyebab ambruknya ruas jalan ini termasuk penyebab yg dirangkum dari media adalah sebagai berikut:

  1. Akibat intrusi air laut.
  2. Akibat abrasi/erosi air laut – (Kementrian PU, Iman Sadisun – Geologi ITB);
  3. Kegagalan daya dukung tanah/pondasi.
  4. Muka air sungai yg sering tinggi karena curah hujan yang tinggi.
  5. Kegagalan struktur.

Mari kita lihat probabilitias penyebab ini satu per-satu:

  1. Akibat intrusi air laut:

Intrusi air laut terjadi jika muka air tanah (fresh water) lebih rendah daripada muka air laut sehingga air laut merembes masuk karena tekanan hidrolisnya (berat jenisnya) yang lebih tinggi. Walaupun intrusi air laut ini memang terjadi di Jakarta utara, pengaruhnya terhadap kuat geser tanah hampir tidak ada. Mengapa? Sebelum terjadi instrusi air laut, tanah dibawah ruas jalan ini selalu jenuh, dan sesudah instrusi terjadi, kondisi tanah pun tidak berbeda. Memang ada pengurangan tegangan efektif tanah karena buoyancy effect dari air laut lebih besar sebanyak 3 persen dibandungkan air laut (Berat jenis air laut=1.03). Dengan kata lain ada penurunan tegangan efektif sebanyak 3 persen, yg berarti penurunan kuat geser sebanyak 3 persen, suatu perubahan yg relative kecil dalam bidang geoteknik dan bisa diabaikan.

  1. Akibat abrasi/erosi air laut.

Erosi air laut bisa menggerus bagian kaki (toe) timbunan yang berfungsi utk bekerja menjaga keseimbangan timbunan. Dari informasi yg terkumpul, dapat disimpulkan bahwa ruas jalan ini bertumpu pada timbunan tanpa ada perkuatan tiang pancang sama sekali. Dengan adanya gerusan bagian toe ini, maka terjadi pengurangan tekanan pasif sehingga tekanan aktif (berat timbunan – driving forces) menjadi lebih besar dibanding tekanan pasifnya. Akibatnya, factor keamanan terhadap stabilitas timbunan menjadi kurang dari satu. Artinya? Timbunan akan longsor karena tidak stabil.

Penyebab terjadinya abrasi? karena gelombang laut? kemungkinan kecil karena terlihat di foto air sungai tampak tenang. Karena derdging? I dunno. Karena arus sungai di belokan? Mungkin, tapi ini di luar bidang keahlian saya.

  1. Kegagalan daya dukung tanah/pondasi.

Kegagalan daya dukung ini bisa disebabkan karena berbagai hal:

  1. Pengurangan daya dukung tanah akibat perubahan geometri timbunan tanah akibat erosi/abrasi;
  2. Pengurangan daya dukung tanah akibat beban cyclic kendaraan yg melintas di atasnya selama 20-th sebelumnya. Fenomena ini hanya terjadi pada soft clay;
  3. Pengurangan daya dukung akibat berkurangnya tekanan air di bagian kaki timbunan saat permukaan air laut pada elevasi terendah (low-tide).
  4. Beban cyclic pasang surut air, menyebabkan tanah2 pasir dan lanau ikut terbawa saat air surut, yg mengakibatkan rongga dibawah ruas jalan. Ini sangat lumrah terjadi di pelabuhan2.
  5. adanya tanah lunak di bawah ruas jalan ini, yang memberikan stabilitas timbunan yg marginal sejak jalan ini dibangun. Akibatnya akan terjadi pergerakan perlahan (creeping) akibat tingginya tegangan geser yg bekerja pada pondasi tanah. Ini pernah terjadi pada salah satu proyek pelabuhan yg saya tangani di Queensland, dimana pier-nya bergerak dan mengakibatkan keretakan yg cukup parah pada deck pelabuhan.

Kombinasi ke-5 hal tsb diatas menyebabkan berkurangnya angka faktor keamanan terhadap longsor.

Kenapa tidak terjadi siang hari saat air pasang? Karena saat itu factor keamanannya (FK) thd stabilitas> satu dengan adanya tekanan air di kaki timbunan.

Kenapa baru terjadi sekarang? Dulu geometry kaki timbunan tidak separah sekarang dan masih memberikan FK>1. Pengaruh erosi sungai (apapun penyebabnya) belum separah sekarang.

Selain itu, sebelumnya, sekalipun faktor keamanan thd kelongsorannya sangat minim (sekitar 1.00), belum terjadi pergerakan yg banyak. Kalau teori saya ttg creeping ini benar, maka selama kira2 dua puluh tahun sebelumnya, timbunan ini mengalami pergerakan yg perlahan dan karena tanah lunak ini biasanya strain-softening (semakin lemah dengan semakin besarnya deformasi), maka setelah mencapai puncak kuat gesernya, dia akan kehilangan kuat geser dan pergerakannya akan semakin cepat dan bisa runtuh secara cepat (rapid failure) juga, spt yg terjadi di lokasi ini.

  1. Muka air sungai yg sering tinggi karena curah hujan yang tinggi.

Pengaruhnya sama dengan pasang surut air laut.

  1. Kegagalan struktur.

Tampaknya perkerasan jalannya hanya didisain utk menahan beban traffic dan bukan utk menahan beban geoteknik, sehingga saat timbunan dibawahnya longsor, perkerasan betonnya ikut longsor.

Penyebab2 lain seperti:

  1. pengaruh penurunan akibat pemompaan air tanah yg berlebihan;
  2. kehilangan suction akibat intrusi air laut;
  3. pengurangan daya dukung tanah akibat reaksi kimia dengan garam laut;
  4. akibat gempa;

menurut pendapat saya tidak relevan utk kasus ini dan terlalu dipaksakan. No offense.

Rangkuman:

Penyebab longsornya jalan kemungkinan besar adalah kombinasi tergerusnya kaki timbunan, pengaruh pengurangan daya dukung tanah akibat beban traffic, adanya lapisan tanah lunak di bawah ruas jalan ini, dan akibat pasang surut air.

Kemungkinan mekanisma keruntuhan longsor ini di tempat lain di ruas jalan sepanjang Martadinata cukup besar dan sudah seharusnya tim geoteknik yg handal (siapapun itu) harus dilibatkan dalam menangani kasus ini.

Rekomedasi:

  1. lakukan bathymetric survey di daerah longsor utk mengetahui geometry timbunan jalan sesudah longsor dan juga di daerah yg tidak longsor;
  2. lakukan penyelidikan tanah lapangan dan laboratorium; SPT dan sampling;
  3. di lab; lakukan kuat geser tanah triaxial dan simple shear kalau ada. Kalau tak ada simple shear, pakai direct shear dengan beberapa vertikal stress. TX test dilakukan dengan melakukan TX CU utk beberapa tegangan effektif yg bisa terjadi di lapangan. Kalau perlu, lakukan teknik SHANSEP utk meminimumkan oengaruh gangguan tanah. Lakukan test kuat geser sampai mencapai regangan geer 15% utk mengetahui apakah tanahnya berperilaku 'strain softeing' atau tidak. Gunaka test UU (unconsolidated undrained) dg rate of strain yg cukup cepat utk mengetahui ini, dilakukan pada tegangan efektif yg mirip dg tegangan efektif tanah lunak di lapangan.
  4. lakukan analisis geoteknik (LEA) dengan memperhitungkan pasang surut air laut utk pre-falure geometry dan post-failure geomtery utk menghitung kuat geser tanah;
  5. lakukan analisis geoteknik (FEA) menggunakan strain softening materials.
  6. pasang instrumentasi geoteknik spt inclinometer utk ruas2 jalan di sepanjang jalan itu yg diperkirakan kritis, dan lakukan pengamatan periodik, setiap minggu, 2 minggu atau tiap bulan tergantung dari hasil pengamatan beberapa minggu pertama. Kalau ternyata ada pergerakan, naikan frekwensi pengamatan shg bisa diketahui displacement rate-nya per minggu. dari sini bisa di-assess apakah perlu dilakukan perkuatan atau tidak.
  7. Utk mengetahui risiko keruntuhan ruas jalan lainnya, lakukan risk assessment dengan metoda quantitative utk tiap 100-m ruas jalan. Agar risk assessment ini mempunyai arti, lakukan juga penyelidikan tanah di setiap 100-m ruas jalan, paling tidak ada dua titik boring utk menentukan profil geoteknik di bawah ruas jalan ini. Juga lakukan analisis LE utk mengetahui faktor kemananannya thd keruntuhan.

Sebagai perbandingan, sekitar dua-tiga tahun yg lalu pernah terjadi di Brisbane, salah satu ruas jalan Free-way ke kota ditutup selama 7 hari karena ditemukan retakan rambut di salah satu ruas jembatan layang dekat jalan masuk ke kota. Retakan rambut ini ditemukan pada inspeksi rutin tahunan utk memeriksa servicibiltas jalan2 yg ada, terutama jalan2 yg kritis dan berisiko tinggi jika ambruk. Retakan ini terdeteksi dan langsung diperbaiki dan dianalisis sampai yakin bahwa ruas jalan ini masih aman utk dipakai.

Seharusnya pemerintah kita atau para pengelola jalan tol juga melakukan hal yg sama utk mealkukan inspeksi rutin thd servicebilitas jalan2 ini terutama jalan2 layang dengan beban2 berat. Semua potensi kegagalan jembatan.jalan harus ditinjau, naik itu kegagalan struktur atau kegagalan geoteknik.

my two cents,

Salam,

Hendra Jitno, PhD., CPEng, FIEAust, NPER